Menjemput Impian yang Tertunda
Judul Cerpen Menjemput Impian yang Tertunda
“IMPIAN” hatiku tertegun jika berbicara mengenai hal yang satu ini, takutnya
setengah mati jika membicarakannya apalagi melihat kenyataannya yang sungguh
mengerikan bagiku. IMPIAN yang selama ini aku punya dan hampir seluruh jiwaku
dibuatnya merana, karena ia tak kunjung berubah menjadi kenyataan dan malah
dengan setianya hanya menjadi seonggok impian yang hanya tersimpan di otakku
saja.
Masa
kecilku ditemani dengan sejuta impian, mungkin judul sebuah buku “Sang Pemimpi”
milik penulis favoritku ADREA HIRATA tepat dengan diriku. Sebuah impian yang
lahir dari seorang perempuan kecil yang berasal dari sebuah kampung terpencil,
di sebelah utara Tapanuli, Sumatera Utara, tepatnya di suatu desa sederhana namanya
adalah Borbor ya, borbor dan mungkin letak desaku ini tidak akan anda temui di
google maps heheheh.
Namanya
yang begitu unik yang belum pernah aku dengar dari sekian juta nama di muka
bumi ini, akan tetapi itulah desaku, tanah kelahiranku, desa yang jauh dari
kebisingan kota, desa yang begitu nyaman dan desa itu juga ikut andil dalam
melahirkan anak-anak bangsa Indonesia dengan berjuta impian yang mereka bawa
dan mungkin salah satunya adalah aku, yaaa aku.
Hanya
saja aku tidak seberuntung mereka, yang punya impian yang sama dan lambat laun
aku turut menyaksikan mimpi mereka sudah menjadi sesuatu yang nyata. Tidak
seperti mimpiku yang asyik menggantung dan hanya menjadi bayang-bayang di
hidupku. Impian yang terus melekat dan mengikutiku seolah tidak mau pergi
sebelum ia berubah menjadi sesuatu.
Andai
aku bisa berlari memutar waktu, mengulangnya kembali maka aku akan
memperbaikinya semampuku. Tapi apa dayaku? Semua diluar kekuatanku, semua di
luar batas kemampuanku. Tetapi betapa sadarnya aku ada yang lebih tahu semua
tentang impianku dan ia menyaksikan semua impian–impianku yang akhir–akhir ini
mulai kabur bahkan mungkin sudah mulai berlalu.
Mengecap
bangku kuliah memang sempat kurasakan dan seperti teman-teman lainnya, aku
sangat senang dan sangat bergairah menjalani awal-awal masa pekuliahanku itu,
meskipun pada akhirnya aku tidak lulus ke universitas negeri di kotaku. Tetapi
yang kurasakan saat itu adalah semangat yang meluap–luap, dengan semangat 45,
atau mungkin jika ada satu tingkat lagi diatas semangat 45 mungkin itulah
semangatku waktu itu.
Waktu
terus berjalan seperti biasanya, seolah tidak peduli denganku. Waktu yang
berlari begitu jauh dan tampakknya begitu enggan menoleh kepadaku yang masih
tetap diam di tempatku. Dan pada awal memasuki semester II perkuliahanku, semua
mulai berubah harapanku mulai pudar, impianku mulai buyar dan semangat 45 yang
sempat kumiliki perlahan–lahan menipis bahkan berhasil menghantarkan aku ke
titik terendah dalam hidupku.
Hari-hariku
berubah kelam, mentari seolah enggan memperlihatkan wajahnya dan bulan pun
seakan tidak mau muncul di hadapanku, bahkan bintang pun terlihat begitu kejam
ikut serta menyempurnakan kesedihan yang kualami. Ya itulah yang keadaanku saat
itu.
Semua mimpi
yang aku bina dari sejak kecilku seolah direnggut oleh ketidakadilan, aku hanya
bisa menyalahkan diriku, keadaanku, dan menyalahkan sang waktu yang tidak
pernah berpihak padaku. Dan sampailah di satu hari, ketika aku mengetahui bahwa
sosok yang aku sayangi dan sosok yang selama ini aku banggakan itu harus
terkulai lemah dan seolah tak berdaya lagi mendampingiku untuk mewujudkan semua
impianku dan itulah pelengkap kerapuhanku.
Tanpa
sadar tetes–tetes air bening yang selalu keluar dari mata indahku berubah
menjadi teman setia yang menemani hari–hariku, seolah–olah dia ikut meratapi
semua kalut dalam hatiku. Dan akhirnya aku memutuskan untuk mulai mencari
sebuah pekerjaan, setidaknya meringankan sedikit beban yang selama ini hanya
bertengger di pundak ayahku dan ibuku, walaupun aku sadar semua usahaku itu
tidak akan memberikan pengaruh yang berarti namun aku tetap melakoninya.
Dan
akhirnya aku pun diterima bekerja di sebuah supermarket di daerah jl. suparman
Medan. Dari mulai pukul 09.00 s/d 17.00 sore dan aku sangat bersyukur mendapat
pekerjaan itu. Pagi sampai sore aku bekerja dan malamnya aku masuk kuliah,
beruntung sekali di tempat aku kuliah, ada kelas karyawannya, walau sering
sekali aku ketinggalan mata kuliah tetapi itu tak menghalangiku untuk tetap
bekerja.
Waktu
pun terus berjalan dan masih tetap sama seperti biasanya ia tidak mau
menungguku ia berlari begitu saja tanpa menghiraukan aku yang sedang tertatih
mengejarnya, tak terasa masa trainingku pun berakhir dan itu artinya aku
diterima menjadi salah satu karyawan tetap di supermarket yang terbilang elit
di kota ku itu.
Hari-hari
tetap aku jalani seperti biasa dan hampir tidak berbeda dari hari sebelumnya.
Saban hari menggeluti hal yang sama, pagi hari diisi dengan bekerja dan
malamnya aku menjalani kuliah, melelahkan sekali. Tetapi aku tetap bersemangat.
Pada
satu sore setelah seharian bekerja jam pun menunjukkan pukul 17.00 wib itu
artinya akan segera pulang kerja dan entah mengapa tubuhku rasanya begitu lemas
sekali terasa sekali tenaga ini terkuras habis setelah bekerja seharian dan aku
memutuskan tidak masuk kuliah malam itu, setelah sampai ke kamar kostku, aku
langsung merebahkan tubuhku dan berharap mendapatkan satu kesegaran setelahnya.
Pada
saat aku sedang menikmati istirahatku yang sangat berarti itu, tiba-tiba
seluruh perhatianku dialihkan oleh suara bising ternyata ponsel jadulku
berbunyi, dengan tanganku aku mulai meraih ponselku yang tergeletak di sudut
tempat tidurku. Hatiku bertanya–tanya siapa gerangan yang berani menggangu
istirahatku sore itu, dengan mata yang sedikit berat karena menahan rasa
kantuk, aku melirik ponselku, aku tertegun saat aku tahu yang menghubungiku
sore itu adalah ibuku, rasa cape dan kantuk yang tadinya sempat menghinggapiku,
hilang dalam sekejap saat aku mendengar suara lembutnya mulai mendarat di
telingaku, aku sangat rindu sekali pada wanita suci itu.
Aku
mulai menyimak semua kalimat yang diucapkanya, dengan seksama aku coba mengerti
setiap kata yang dikatakannya padaku tubuhku mulai kaku, bibirku kelu dan mulutku
diam seribu bahasa dan tak mampu mengeluarkan sepatah kata pun. Tetapi aku
mencoba tenang dan mulai menghibur diriku dan ternyata itulah awal dari
semuanya, pikiranku berkecamuk, karena malam itu juga aku harus memutuskan satu
keputusan yang jelas-jelas bertentangan dengan semua yang kuharapakan.
Kalimat
ibuku kembali terngiang di telingaku. Kalimat sederhana yang sarat makna.
“nak,
mamak gak mampu sendiri boleh tidak mamak bagi sedikit beban ini padamu”
Dengan
logat batak yang sangat kental ibuku mengucapkan kalimat itu dan dengan hati
yang sedikit lega aku memutuskan untuk menemani wanita tulus itu tak tega
rasanya hati ini menolak semua permintaan wanita suci itu, aku sangat
mengaguminya andai kata malaikat dapat kusejajarkan dengannya, ya itulah “wanita
tegar yang pernah kukenal”
Dan
dengan mantap aku memutuskan berhenti dari pekerjaanku, dengan sedikit berat
kulangkahkan kakiku meninggalkan pekerjaanku dan kuliahku dan mulai melupakan
setiap impian-impianku yang terlalu tinggi dan terbilang tidak masuk akal,
mimpi yang sudah pernah kurajut dan kususun sangat rapi di benakku dan yang
kupikirkan saat itu hanyalah.
“Kesehatan
ayahku dan kebahagiaan ibuku walau aku tahu betul kalau wanita itu tidak
bahagia melihat anak bungsunya harus menghentikan pendidikannya, aku tahu dia
sangat tersiksa sebelum ia meminta itu kepadaku. Tetapi tak sedikitpun
terbersit di benakku menambah kepedihan hatinya.
Hari
berganti hari dan seperti biasanya sang waktu telah pergi jauh dan dengan gesit
berlalu meninggalkanku yang sedang merajut asa, semua kulalui dengan ikhlas
hati dan mulai mencurahkan seluruh perhatianku sepenuhnya kepada sosok yang
kukagumi itu, satu pribadi yang tidak pernah menyakitiku ya, dia ayahku.
Satu
tahun sudah aku menemaninya, tiap malam aku dan ibuku melaluinya dengan rasa
takut, takut kehilangan ayahku malam itu tetapi Tuhan masih memberikan dia
kesempatan hidup walaupun tidak begitu panjang dan akhirnya tepat hari kamis
sore hari di tanggal 14 april 2008 ayahku menghembuskan napas terakhirnya,
seolah tidak percaya karena hari itu dia begitu tampak sehat.
Di hari
terakhirnya itu aku dipaksa untuk bernyanyi sebelum dia meninggal, aku tidak
punya firasat sedikitpun, ternyata salah satu lagu kesukaanya yang sempat
kulantunkan di sampingnya menghantarnya kepada ketenangan abadi, duniaku serasa
berhenti, aku ingin meraung tetapi air mataku sulit rasanya untuk menetes tidak
tahu mengapa tapi yang jelas tenggorokanku sakit sekali dan ternyata setelah
kusadar air mataku sudah mulai mengering mungkin karena sering menangis.
Dan
hujan pun turun mengguyur desaku sore itu, seakan–akan ikut meratapi
kepergiannya. Pikiranku mulai buyar semangatku kembali sirna. Yang ada di
benakku hanya satu “Tuhan tidak adil padaku dan aku merasa Tuhan juga ikut
pergi meninggalkanku, tetapi apa dayaku aku hanyalah seonggok daging yang tak
mampu merubah kuasaNYA,”
Aku
belajar ikhlas walau sangat berat bagiku untuk jauh darinya, perpisahan memang
menyebalkan. Aku hanya bisa berdoa dan meratapi kepergiannya dan berharap Tuhan
memberikanku satu kekuatan dari sisa–sisa kekuatanku untuk tetap bertahan
mengahadapi hal–hal yang tidak bisa kuubah dengan tanganku yang lemah ini.
Selang
berjalannya waktu aku kembali mencoba menapaki kehidupanku, kembali
kulangkahkan kakiku yang sempat terhenti rasanya ingin masuk ke dalam mimpi dan
tinggal di sana selamanya, tetapi aku tidak bisa mengelaknya inilah hidup,
hidup dalam kenyataan bukan dalam bayang–bayang dan dengan kepala yang
terangkat aku mulai mengumpulkan sisa–sisa kekuatanku dan kembali merapikan
puing–puing semangatku yang sudah berantakan dan nyaris tak bersisa, tetapi
dengan dukungan ibuku aku mampu melewati semua badai dalam hidupku, meskipun
dalam waktu yang lama aku berada dalam lubang keterpurukan, benar kata ibuku
dunia ini memang lembah air mata.
Rumitnya
kisah hidup yang mampu menghantarkanku kepada satu ketegaran dan aku sadari
Tuhan begitu mengasihiku dan masih tetap bersamaku, hanya saja aku tdak pernah
sadar akan keberadaanya yang sangat luar biasa dan itulah alasan mengapa aku
masih tetap berdiri hingga sekarang dan tetap berani hidup dan andai saja seisi
laut adalah tinta dan seluruh cakrawala adalah kertasnya, itu semua tidak akan
mampu melukiskan betapa dalamnya, tingginya dan luasnya kasih sayang Tuhan
dalam hidupku.
Kalau
mungkin tidak ada Tuhan mungkin aku sudah berada dalam barisan orang–orang yang
putus asa dan tak berpengharapan, di lembah keterpurukanku sekalipun Dia tetap
menunjukkan cintaNya. Dan kasihNya itu mampu merubah cara pandangku tentang
“arti kehidupan”.
Kaki
harus terus berjalan dan berlari bila perlu, selamat bertemu kembali denganmu,
“hai impianku yang sempat tertunda,”
Aku
kembali lagi menata impianku aku tidak akan membiarkannya terkubur dan sampai
membusuk, impianku harus kuperjuangkan kembali, tidak akan kulepas lagi, banyak
hal yang harus kupertaruhkan untuk semua impianku dan inilah pandanganku
tentang IMPIAN.
•
Impian, jika hanya dipendam saja itu hanya menjadi lamunan di siang bolong yang
tidak akan pernah berubah menjadi apapun jika aku tidak berani memulainya.
• Impian, jika tidak dipertahankan atau diperjuangkan ia hanya akan menjadi timbunan-timbunan dari pikiran yang tidak jelas kemana akan bermuara.
• Impian, jika hanya berpangku tangan ia akan berubah jadi kenyataan dari “mimpi burukmu” selama ini.
Aku
mulai mengerjakan impianku, mungkin dengan berani “menulis” ini aku sudah
memulai langkah awalku untuk meraih semua mimpi-mimpiku, kejar terus impianmu,
tidak peduli mimpimu kecil ataupun besar yang terpenting adalah beranilah
“mengerjakan mimpimu itu, jangan berhenti, sampai impianmu menjadi “SESUATU”.
Jangan tunggu, segeralah, KERJAKANLAH • Impian, jika tidak dipertahankan atau diperjuangkan ia hanya akan menjadi timbunan-timbunan dari pikiran yang tidak jelas kemana akan bermuara.
• Impian, jika hanya berpangku tangan ia akan berubah jadi kenyataan dari “mimpi burukmu” selama ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar